Monday, November 18, 2013

Fenomena Laskar Pelangi dan buku kritikannya

Belakangan ini beberapa teman dunia maya memposting telaah salah satu buku  'Laskar Pemimpi; Andrea Hirata Pembacanya dan Modernisasi Indonesia' karya Nurhady Sirimonok. Sebut saja disini (blog pertama) dan diblog ini (blog kedua).   Sebenarnya buku kritikan ini sudah lama beredar (tahun 2008 kalau tidak salah). Hanya saja, beberapa bulan ini gaung kritikan buku ini sangat besar dan menguncangkan jiwa ... *haisssh apaan coba*.


Buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (AH) adalah salah satu buku favorit saya, yang ter malah. Dari buku pertama sampai ke-empat saya lahap habis. Dan dari buku tersebut jugalah saya memberanikan untuk mencoba bermimpi kembali untuk meraih cita2 saya setelah sempat down tidak percaya diri kala itu. Jujur saja saya sangat terinspirasi dengan buku2 AH. Seperti saya ceritakan sebelumnya bahwa mimpi saya setelah lulus S1 adalah melanjutkan ke S2. Dan salah satunya cara agar saya bisa S2 adalah dengan jalan mencari beasiswa. Mencari beasiswa dalam negeri tahun 2005-2010 bagi pegawai swasta sangatlah susah kala itu, option satu2nya adalah dengan melamar beasiswa LN.  Dan akhirnya saya berada disini (red Belgia), sekarang saya tengah menjalani mimpi saya yang lain, menyelesaikan S3 Biostatistics di Hasselt Univeristy Belgia setelah September 2012 saya lulus S2 Biostatistics di universitas yang sama. Cerita saya bisa dilihat disini.

Ditulisan ini saya hanya ingin memaparkan beberapa kesalahan (menurut saya) yang menjadi pengunjingan khalayak ramai di dunia maya tentang buku fenomenal tsb. Dan saya tidak akan menyerang penulis buku ataupun penulis blog diatas. Dan disini sayapun tidak akan membela AH.

Dibuku maupun di blog tsb disebutkan bahwa dengan membaca laskar pelangi, pembaca digiring bahwa kualitas pendidikan di dalam negeri kalah bagus dengan pendidikan di LN. Well, kalau mau jujur nech yah n mencoba objektif, pendidikan di Indonesia memang MASIH kalah jauh dibandingkan dengan pendidikan di LN. Banyak bukti2 yang mengatakan demikian, contoh kecil liat saja sistem pendidikan Indonesia yang masih carut marut dan sering diselipin politisasi pendidikan. Sekarang saja pendidikan di negara Indonesia tercinta jauh kalah dengan negara tetangga Malaysia. Mungkin 40-25 tahun yang lalu kita lebih unggul dari mereka, tapi ironinya sekarang sudah terbalik :(.  Satu lagi alasan adalah karena biaya pendidikan di Indonesia SANGAT mahal.

Disebutkan pula bahwa pembaca digiring menuju opini bahwa bekerja/kuliah di LN bak mendulang emas, harta berlimpah ketika pulang ke Indonesia. Well, kalau penulis buku/blog tersebut benar2 membaca laskar pelangi, sepertinya opini diatas tidak akan dituliskan di buku/blog tersebut. Karena jika kita baca dengan cermat, proses Ikal menjadi sukses juga tidak langsung setelah dia pulang dr LN. Dia sempat bekerja dulu di kedai kopi di Belitung kemudian baru bekerja di Telkom. Kl pembaca yang cermat pasti akan menghitung berapa tahun si Ikal menjabat jabatan eksekutif sejak pulang dr LN. Memang, disitu tidak dijelaskan proses bagaimana dia menjadi pimpinan, hanya saja harusnya sebagai pembaca yang cerdas kita harus menyadari bahawa proses menuju sukses itu tidaklah instan.

 Tidak dipungkiri, bahwa kuliah/bekerja di LN menghasilkan nilai materi dari allowance/salary yang mungkin jauh lebih besar dr di Indonesia. Tetapi yang harus disadari juga bahwa hidup di LN tidaklah mudah seperti yang ada dibayang2 kebanyakan orang; bisa jalan2 keliling eropa, cepet kaya, dsb. Hendaknya kita juga harus berpikir objective, seperti masalah kuliah/ kerja yang lebih hectic n susah, masalah rasis yg masih berkembang thd pendatang *apalagi pendatang yg memakai kerudung seperti saya*, makanan, sosial life,dsb. Alasan2 diatas membuat orang2 Indonesia yg "merantau" ke LN mempunyai usaha yg lebih keras sehingga mereka2 ini dpt survive. Dan syukur2 dapat menjadi orang sukses. Untuk menjadi suksespun, tidak hanya dilakukan di LN ko, dr Indonesia juga bisa, asal bagaimana kita mensiasati bagaimana menjadi sukses tersebut.

Memang banyak kasus, mahasiswa di LN yang mencoba untuk mendulang emas tsb. Banyak malah, sangat banyak. Jadi niat mereka sekolah dr LN hanya biar mendapat uang sbg modal hidup mewah di Indonesia; membeli rumah, mobil, tanah, dsb.  Sah sah saja dengan hal itu, tetapi ko saya pikir terlalu sempit yah pola pikirnya? Bagaimana dengan segi ilmu yang didapat?.  Padahal sisi ILMU inilah yang paling penting menurut saya. Karena dengan ilmu yg didapat  di LN, diharapkan setelah kembali ke tanah air para mahasiswa lulusan LN ini dapat mengimplementasikan ilmu n menyebarluaskan ilmunya di Indonesia sehingga ilmu yang didapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat.

Di buku/blog tsb juga disebutkan bahwa mahasiswa2 yg sekolah di LN kebanyakan tidak berkeinginan untuk LANGSUNG pulang ke Indonesia . Dan banyak opini berkembang menyatakan bahwa mahasiswa2 ini sudah kehilangan rasa nasionalismenya karena tidak mau membangun Indonesia. Saya kira sangat naif kalau memajukan negeri hanya bisa dilakukan langsung di Indonesia. Banyak para ilmuwan2 Indonesia yang berkiprah di dunia internasional dan tinggal di luar negeri tetapi tetap memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan daerah asal dan Indonesia. Saya kira nasionalisme tidak selalu harus tinggal di Indonesia, tetapi bagaimana peran kita dimanapun kita berada untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

Balik lagi ke buku laskar pelangi AH dan buku2 sejenis seperti trilogi lima menara karaya A. Fuadi. Menurut hemat saya, tidak ada salahnya buku2 tersebut hadir di masyarakat selama buku2 ts dapat menginspirasi jutaan anak bangsa untuk bisa bermimpi sehingga nantinya bisa membangun Indonesia.  Buku2 motivasi memang saat ini meledakkan dunia sastra di Indonesia, dari motivasi kuliah keluar negeri, jalan2 keliling dunia, motivasi jadi kaya, sampe motivasi nyari jodoh pun ada. Hanya saja, kita sebagai pembaca yang awam hendaknya tidak bulat-bulat mengiyakan buku2 tersebut. Tetapi harus ada proses berpikir ketika membaca novel tersebut.

Buku kritikan terhadap suatu karya sastra memang sudah menjadi hal yang lumrah, dengan adanya kritikan ini menjadikan kontrol thd karya sastra yang dijadikan "sasaran" kritikan.  Hanya saja, kita sebagai pembaca yang cerdas hendaknya tidak mengiyakan/menolak kritik2an tersebut, harus ada filter tentunya.


No comments:

Post a Comment